Edelweiss Hitam
cerpen :Korie Khaeriah
Kala cinta itu pergi, semuanya
terasa tak berarti. Ketika sosok itu berlalu, mawar pun seketika
layu. Hilang.. ya dia hilang. Seperti yang aku rasakan saat ini. Setelah tragedi itu semuanya harus berakhir . Cintaku, bahkan hidupku.
“ Jreeennnggg…”
Petikan gitarnya menghentikan gerakan jemari tanganku. Itu sudah pasti Ardi. Dengan
style nya yang khas ia selalu menyanyikan alunan lagu itu. Lagu lagu yang pernah membuatku kuat.
“ Tita,Tita,Tita… Serius sekali anda ini, why so serius? Nikmatilah perkejaanmu,
kerjakan dengan santai saja, tak perlu seserius itu, ingat itu, terimakasih dan
salam super ”.
“ Heummm kalau Pak Mario tahu dia punya
fans kaya kamu gitu, aku ngga yakin
acara MTGW bakal langgeng ”.
“ Ha? Kenapa
emang? ”.
“ Soalnya mereka khawatir, bakal bermunculan fans
–fans baru yang
sejenis kamu, haha”
“ Ga asyik kamu Ta, wuuuuuh”.
Lima tahun lalu, saat umur 12 tahun, aku sudah tinggal di panti ini. Di panti ini pula aku mengenal Ardi, sosok yang dulu kuanggap
paling menyebalkan tapi sekarang berbalik
menjadi paling menyenangkan. Ya anggap saja kita temen seperjuangan. Sekolah bareng, maen bareng, makan bareng, ke sana bareng, ke sini bareng,....segalanya bareng,
dan sampai muncul pertanyaan. Tidur? Mandi? Tentu aja ngga lah (bukan muhrim dong!)
“ Eh lagi apa ? Sibuk amat, Di ? Wah kamar kamu udah kaya kapal
retak”. Aku mencoba merecoki kesibukan Ardi saat itu.
“ Ini lagi nyari artikel yang tadi
baru diprint. Aduh mana guru aku
killer”, jawab Ardi dengan tampang lusuhnya dan tetap
sibuk dengan pencariannya . Saat membantu Ardi mencari hasil print nya aku tertarik dengan gambar yang aku temukan di tas Ardi.
“ Ardi, Ardi, ini bunga apa? ”
“ Oh itu, itu namanya Edelweiss Ta,
biasa orang nyebutnya bunga abadi. Kenapa?”.
“ Bunga abadi? Edelweiss? Kok aku
jarang liat ya? Belum pernah malah ”.
“ Ha? Belum liat yaaa? Ndessooooooo,
haha. Tapi emang ko, bunga itu adanya Cuma di puncak gunung.
Anak-anak yang suka muncak aja yang
akrab dengan bunga itu.”
“ O ya ? Hmm... andai aja hidup ini seperti bunga
Edelweiss. Abadi. Pasti
aku ga bakal kehilangan nenek, papa, mama, sama ade aku Farhan ”.
“ Duh, duh, jangan sedih sayang Kan ada Ardi Sang Pahlawan Kegelapan yang selalu
ada di sampingmu ”.
“Haha, super sekali”.
Semuanya bisa menjadi mungkin karena waktu. Waktu bisa merubah
segalanya. Begitu pun perasaan. Tak bisa dipungkiri, Ardi yang telah
merubah perasaanku. Perasaan yang biasa-biasa saja menjadi perasaan yang luar
biasa. Dia yang mampu menguatkan aku, menyadarkan aku bahwa Tuhan itu Maha Adil. Saat ada yang meninggalkan kita, pasti akan ada yang menghampiri
kita. Begitu pun aku, saat aku kehilangan nenek,
papa, mama, Farhan. Awalnya aku merasa
sendiri, aku merasa terbuang karena harus tinggal di panti, tapi ternyata banyak yang aku dapat di sini, termasuk cinta saat aku mulai mencintai Ardi.
“ Woy Ta”. Ardi membuyarkan lamunanku.
“ Akh kamu, aku kan kaget. Untung ga jantungan”. Aku memasang tampang kesal.
“ Haha.. sorry sorry, eh Ta, liburan ini akan kudaki gunung
Mahameru”, ucap Ardi sambil berkacak pinggang.
“ Ah Lebay kamu ” .
“Serius Ta, aku mau naklukin Mahameru”. Ardi meyakinkan.
“ Ha? Jadi ga bareng sama aku liburannya? Yaaah kamu sih”.
“ Duh jangan sedih gitu Ta, tujuan aku
muncak itu buat, buat.. buat bawain bunga Edelweiss buat kamu”.
***
Hari itu hari keberangkatan Ardi. Otomatis
bakal kesepian tingkat internasional di panti. Ada ketakutan tersendiri waktu Ardi
mutusin buat pergi. Kabarnya, Mahameru banyak
menelan korban dan kemungkinan
kecil pendaki bakal selamat. Oh Tuhan, galau sekali aku ini.
“ Ta, berangkat dulu ya, doakan aku di sana, hehe”.
Aku hanya diam, menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta
saat upacara bendera hari Senin. Rutin dan disiplin.
Tapi bukan itu yang kulakukan saat itu.
Aku menunduk karena khaatir air mataku terlihat
olehArdi. Apalah
daya, Ardi mengetahuinya.
“ Kok nangis? Takut kehilangan aku ya? Haha”.
“ Akh tau lah, batalin aja Di.
Ya ya please”, ujarku memohon. Duh, ia tak merasakan
ketakutanku yang amat sangat.....
“ Ngga mungkin Ta. Udah ya aku berangkat. Aku baik-baik aja, dan yang pasti waktu aku balik, nanti aku bakal bawain bunga Edelweiss. Spesial
buat Titaku .”
“ Janji ya?”
“Sip”, ia meyakinkan. Senyuman lebarnya membuatku tegar. Ah,
sentuhan ujung hidungnya di keingku membuatku serasa melayang.........
***
Hampir satu minggu Ardi hiking bareng
temen-temennya, satu minggu pula aku kehilangan kabar. Ardiii… kamu kemana, udah satu minggu ga ngasih kabar. Tau
ngga si, aku disini ngerasa kehilangan , tapi aku bakal terus
nunggu kamu bawain bunga edelweiss yang kamu janjiin. Spesial buat aku.........
“ Ting ! “ Tiba-tiba
aku inget kalo Ardi pernah bilang, hiking itu ngga lebih dari satu minggu. Wah, berarti ngga lama lagi Ardi bakal
balik.
“ Ardi kamu tau ngga, pas aku inget kamu bakal balik, aku tuh
serasa ngebelah atmosfir berlapis-lapis terbang ke langit yang tinggi meluncur
bareng paus akrobatis, terus ngebut
menuju rasibintang paling manis.’
Satu minggu hidup tanpa Ardi bikin aku udah kaya orang gila.
Ngomong-ngomong sendiri, senyum-senyum sendiri sambil bayangin
Ardi datang bawain bunga, berlutut di hadapan
aku sambil ngucapin ‘Aku pulang sayang , wekekek’.
Tiba-tiba terdengar ketukkan pintu
yang membuyarkan lamunanku.
Sebelum membukakan pintu, aku coba mengintip dari balik jendela
untuk mengetahui dahulu siapa yang datang mengunjungi panti. Aku terkesiap saat
melihat bahwa yang datang itu Deni bersama teman-temannya, tapi aku tak melihat
sosok Ardi diantara mereka.
“ Ardi mana, Ardi mana?! ” Tiba-iba detak jantungku terasa berpacu.
Mataku liar mencari sosok lain selain mereka. Tak ada ardi. Tak ada
jawaban. Mereka hanya diam. Mereka hanya menyerahkan
sebuah ransel besar dan seikat seikat bunga
Edelweiss kepadaku.
“ Apa maksudnya? Mana Ardi? Kenapa
kalian diam?!”.
“ Ta…”.
“ Stop,jangan bilang kalo Ardi…”.
“ Maaf Ta, awalnya pas kita jalan,
kita ngerasa udah bareng sama Ardi, tapi ternyata kita salah. Ardi hilang, dan saat kami coba melakukan pencarian, kami hanya
menemukan ransel dan seikat bunga Edelweiss ini. Petugas juga
sudah melakukan tindakan........”
Bla....bla...bla...
Dunia serasa berhenti berputar. Penjelasan
mereka tak kudengar lagi, sayup....menjauh...hilang. Lunglai seluruh tubuhku. Alam menangis
, mentaripun berduka kala itu . Apa yang bisa kulakukan jika
sekedar menerima kenyataan pun aku tak kuasa. Saat airmata tak sanggup lagi
mengungkapkan perasaan, yang terngiang dipikiranku hanya satu kata “ MATI !! “’
Layaknya orang bodoh, terkadang pisau pun menjadi teman dalam
kesendirian dan kegalauanku. aat aku mencoba melukiskan kesendirianku dengan pisau sebagai
kuasnya dan pergelangan tangan sebagai kanvasnya . Dan…
“Ahhhhhhhhhhhh………”
***
Ah...apa ini ? Dengan kepala yang terasa
berputar-putar, aku mencoba menyadari keadaan di sekelilingku. Aku ada
dirumahsakit. Aku dikelilingi
teman-teman pantiku. Saat itu yang
kuingat hanyalah satu. Ardi . Sosok tegap hitam manis itu tak ada di
sini.
“ Ardi mana? Dia pasti sudah pulang
kan?” Dalam keadaan setengah sadar aku mencoba meakinkan diri.
Ardi ada.
“ Ta, sadar Ta, sadar. Ngga ada Ardi disini. Kamu harus kuat Ta.Kamu bisa tanpa dia ”, Nina mencoba mengingatkan aku bahwa
ngga akan ada Ardi lagi dalam hidupku. Hati ini seakan teriris saat mendengar perkataan Nina. Ardi udah ngga ada , ya ngga ada , ngga ada buat selama –
lamanya .
Malam itu perasaanku masih kacau balau , tak ingin kulihat
seorang pun di hadapanku. Aku ingin sendiri.
Dengan tenaga seadanya aku mencoba bangkit dari tempat tidur dan berjalan
menuju taman rumah sakit di depan
kamarku. Bintang malam itu tersenyum
menghiburku. Tapi ingatanku
tentang Ardi tak juga beranjak pergi . Lelaki lembut hati yang juga penghuni panti ini nyaris tak pernah bersedih.
Senyum candanya senantiasa hadir seolah ia memiliki segalanya di dunia ini.
Padahal ia senasib denganku. Tanpa ayah, tanpa ibu. Tanpa sanak dan kerabat. Ia
tak tak pernah tahu asal usul dirinya. Ia ditemukan ibu panti dalam sebuah
kardus di depan pintu panti ini. Oh Tuhan, kejam nian dunia terasa bagi
kami......
“Kakak, ini buat kakak ”, sebuah suara mengejutkan. Bocah lelaki
kecil dengan senyum manisnya memberikanku seikat bunga, dan itu bunga
Edelweiss. Aku tertegun. Edeleisss... Belum
sempat aku bertanya , anak kecil itu telah menghilang, entah ke mana.
Kutatap perlahan bunga Edelweiss itu , ada secaik kertas di sela ikatannya :
tersenyumlah saat kau mengingatnya,
karena ia pun sedang mengingatmu
lihatlah bintang yang tersenyum itu
bintang itu ingin
katakan padamu
kekasihmu ingin
melihatmu selalu untuknya
Aku pun tersenyum. Pada tulisan itu, pada seikat
edelweiss di genggamanku.
Lirih kusenandungkan sebuah lagu.......
indah terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
dan bila itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua…
sudah, terlambat sudah
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
(Padi-Kasih
Tak sampai)
(Cirebon, 2012)