Laman

Rabu, 30 Mei 2012

Edelweiss Hitam


Edelweiss Hitam
cerpen :Korie Khaeriah 

Kala cinta itu pergi, semuanya terasa tak berarti. Ketika sosok itu berlalu, mawar pun seketika layu. Hilang.. ya dia hilang. Seperti yang aku rasakan saat ini. Setelah tragedi itu semuanya harus berakhir . Cintaku, bahkan hidupku.


                “ Jreeennnggg…”
Petikan gitarnya menghentikan gerakan jemari tanganku. Itu sudah pasti Ardi. Dengan style nya yang khas ia selalu menyanyikan alunan lagu itu. Lagu lagu yang pernah membuatku kuat.
                “ Tita,Tita,Tita… Serius sekali anda ini, why so serius? Nikmatilah perkejaanmu, kerjakan dengan santai saja, tak perlu seserius itu, ingat itu, terimakasih dan salam super ”.
                “ Heummm kalau Pak Mario tahu dia punya fans  kaya kamu gitu, aku ngga yakin acara MTGW bakal langgeng ”.
                “ Ha? Kenapa emang? ”.
                “ Soalnya mereka khawatir,  bakal bermunculan fans –fans baru  yang sejenis kamu, haha”
                “ Ga asyik kamu Ta, wuuuuuh”.

Lima tahun lalu, saat umur 12 tahun, aku sudah tinggal di panti ini. Di panti ini pula aku mengenal Ardi, sosok yang  dulu kuanggap paling menyebalkan tapi sekarang berbalik menjadi paling menyenangkan. Ya anggap saja kita temen seperjuangan.  Sekolah bareng, maen bareng, makan bareng, ke sana bareng, ke sini bareng,....segalanya bareng, dan sampai muncul pertanyaan.  Tidur? Mandi? Tentu aja ngga lah (bukan muhrim dong!)
                “ Eh lagi apa ? Sibuk amat, Di ? Wah kamar kamu udah kaya kapal retak”. Aku mencoba merecoki kesibukan Ardi saat itu.
                “ Ini lagi nyari artikel yang tadi baru diprint. Aduh mana guru aku killer”, jawab Ardi dengan tampang lusuhnya dan tetap sibuk dengan pencariannya . Saat membantu Ardi mencari hasil print nya aku tertarik dengan gambar yang aku temukan di tas Ardi.
                “ Ardi, Ardi, ini bunga apa?
                “ Oh itu, itu namanya Edelweiss Ta, biasa orang nyebutnya bunga abadi. Kenapa?”.
                “ Bunga abadi? Edelweiss? Kok aku  jarang liat ya? Belum pernah malah ”.
                “ Ha? Belum liat yaaa? Ndessooooooo, haha. Tapi emang ko, bunga itu adanya Cuma di puncak gunung. Anak-anak yang suka muncak aja yang akrab dengan bunga itu.
                “ O ya ? Hmm... andai aja hidup ini seperti bunga Edelweiss. Abadi. Pasti aku ga bakal kehilangan nenek, papa, mama, sama ade aku Farhan ”.
                “ Duh, duh, jangan sedih sayang Kan ada Ardi Sang Pahlawan Kegelapan yang selalu ada di sampingmu ”.
                “Haha, super sekali”.
Semuanya bisa menjadi mungkin karena waktu. Waktu bisa merubah segalanya. Begitu pun perasaan. Tak bisa dipungkiri, Ardi yang telah merubah perasaanku. Perasaan yang biasa-biasa saja menjadi perasaan yang luar biasa. Dia yang mampu menguatkan aku, menyadarkan aku bahwa Tuhan itu Maha Adil. Saat ada yang meninggalkan kita, pasti akan ada yang menghampiri kita. Begitu pun aku, saat aku kehilangan nenek, papa, mama, Farhan. Awalnya aku merasa sendiri, aku merasa terbuang karena harus tinggal di panti, tapi ternyata banyak yang aku dapat di sini, termasuk cinta saat aku mulai mencintai Ardi.
                “ Woy Ta”. Ardi membuyarkan lamunanku.
                “ Akh kamu, aku kan kaget. Untung ga jantungan”. Aku memasang tampang kesal.
               “ Haha.. sorry sorry, eh Ta, liburan ini akan kudaki gunung Mahameru”, ucap Ardi sambil berkacak pinggang.
                “ Ah Lebay kamu .
  “Serius Ta, aku mau naklukin Mahameru”. Ardi meyakinkan.
  Ha? Jadi ga bareng sama aku liburannya? Yaaah kamu sih”.
                “ Duh jangan sedih gitu Ta, tujuan aku muncak itu buat, buat.. buat bawain bunga Edelweiss buat kamu”.

***

Hari itu hari keberangkatan Ardi. Otomatis bakal kesepian tingkat internasional di panti. Ada ketakutan tersendiri waktu Ardi mutusin buat pergi. Kabarnya, Mahameru banyak menelan korban dan kemungkinan kecil pendaki bakal selamat. Oh Tuhan, galau sekali aku ini.
                “ Ta, berangkat dulu ya, doakan aku di sana, hehe”.
Aku hanya diam, menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta saat upacara bendera hari Senin.  Rutin dan disiplin. Tapi bukan itu yang kulakukan saat itu. Aku menunduk karena khaatir air mataku terlihat olehArdi.  Apalah daya, Ardi mengetahuinya.
                “ Kok nangis? Takut kehilangan aku ya? Haha”.
                “ Akh tau lah, batalin aja Di. Ya ya please”, ujarku memohon. Duh, ia tak merasakan ketakutanku yang amat sangat.....
                “ Ngga mungkin Ta.  Udah ya aku berangkat. Aku baik-baik aja, dan yang pasti waktu aku balik, nanti aku bakal bawain bunga Edelweiss. Spesial buat Titaku .”
                “ Janji ya?”
                “Sip”, ia meyakinkan. Senyuman lebarnya membuatku tegar. Ah, sentuhan ujung hidungnya di keingku membuatku serasa melayang.........

***

Hampir satu minggu Ardi hiking bareng temen-temennya, satu minggu pula aku kehilangan kabar. Ardiii… kamu kemana, udah satu minggu  ga ngasih kabar. Tau ngga si, aku disini ngerasa kehilangan , tapi aku  bakal terus nunggu kamu bawain bunga edelweiss yang kamu janjiin. Spesial buat aku.........
Ting ! “ Tiba-tiba aku inget kalo Ardi pernah bilang,   hiking  itu ngga lebih dari satu minggu. Wah, berarti ngga lama lagi Ardi bakal balik.
Ardi kamu tau ngga, pas aku inget kamu bakal balik, aku tuh serasa ngebelah atmosfir berlapis-lapis terbang ke langit yang tinggi meluncur bareng paus akrobatis, terus ngebut menuju rasibintang paling manis.’
Satu minggu hidup tanpa Ardi bikin aku udah kaya orang gila. Ngomong-ngomong sendiri, senyum-senyum sendiri sambil bayangin Ardi datang bawain bunga, berlutut di hadapan aku sambil ngucapin ‘Aku pulang sayang , wekekek’.
Tiba-tiba terdengar ketukkan pintu yang membuyarkan lamunanku.
Sebelum membukakan pintu, aku coba mengintip dari balik jendela untuk mengetahui dahulu siapa yang datang mengunjungi panti. Aku terkesiap saat melihat bahwa yang datang itu Deni bersama teman-temannya, tapi aku tak melihat sosok Ardi diantara mereka.
                “ Ardi mana, Ardi mana?! Tiba-iba detak jantungku terasa berpacu. Mataku liar mencari sosok lain selain mereka. Tak ada ardi. Tak ada jawaban. Mereka hanya diam. Mereka hanya menyerahkan sebuah ransel besar dan seikat seikat bunga Edelweiss kepadaku.
                “ Apa maksudnya? Mana Ardi? Kenapa kalian diam?!”.
                “ Ta…”.
                “ Stop,jangan bilang kalo Ardi…”.
                “ Maaf Ta, awalnya pas kita jalan, kita ngerasa udah bareng sama Ardi, tapi ternyata kita salah. Ardi hilang, dan saat kami coba melakukan pencarian, kami hanya menemukan ransel dan seikat bunga Edelweiss ini. Petugas juga sudah melakukan tindakan........
Bla....bla...bla...
Dunia serasa berhenti berputar. Penjelasan mereka tak kudengar lagi, sayup....menjauh...hilang. Lunglai seluruh tubuhku. Alam menangis , mentaripun berduka kala itu . Apa yang bisa kulakukan jika sekedar menerima kenyataan pun aku tak kuasa. Saat airmata tak sanggup lagi mengungkapkan perasaan, yang terngiang dipikiranku hanya satu kata “ MATI !! “
Layaknya orang bodoh, terkadang pisau pun menjadi teman dalam kesendirian dan kegalauanku. aat aku mencoba melukiskan kesendirianku dengan pisau sebagai kuasnya dan pergelangan tangan sebagai kanvasnya . Dan…
                “Ahhhhhhhhhhhh………”
***
Ah...apa ini ? Dengan kepala yang terasa berputar-putar, aku mencoba menyadari keadaan di sekelilingku. Aku ada dirumahsakit. Aku dikelilingi teman-teman pantiku. Saat itu yang kuingat hanyalah satu.  Ardi . Sosok tegap hitam manis itu tak ada di sini.
                “ Ardi mana? Dia pasti sudah pulang kan?” Dalam keadaan setengah sadar aku mencoba meakinkan diri. Ardi ada.
                “ Ta, sadar Ta,  sadar.  Ngga ada Ardi disini. Kamu harus kuat Ta.Kamu bisa tanpa dia , Nina mencoba mengingatkan aku bahwa ngga akan ada Ardi lagi dalam hidupku. Hati ini seakan teriris saat mendengar perkataan Nina. Ardi udah ngga ada , ya ngga ada , ngga ada buat selama – lamanya .

Malam itu perasaanku masih kacau balau , tak ingin kulihat seorang pun di hadapanku. Aku ingin sendiri. Dengan tenaga seadanya aku mencoba bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju taman rumah sakit di depan kamarku. Bintang malam itu tersenyum menghiburku. Tapi ingatanku tentang Ardi tak juga beranjak pergi . Lelaki lembut hati yang juga penghuni panti ini nyaris tak pernah bersedih. Senyum candanya senantiasa hadir seolah ia memiliki segalanya di dunia ini. Padahal ia senasib denganku. Tanpa ayah, tanpa ibu. Tanpa sanak dan kerabat. Ia tak tak pernah tahu asal usul dirinya. Ia ditemukan ibu panti dalam sebuah kardus di depan pintu panti ini. Oh Tuhan, kejam nian dunia terasa bagi kami......

                “Kakak, ini buat kakak , sebuah suara mengejutkan. Bocah lelaki kecil dengan senyum manisnya memberikanku seikat bunga, dan itu bunga Edelweiss. Aku tertegun. Edeleisss... Belum sempat aku bertanya , anak kecil itu telah menghilang, entah ke mana.
Kutatap perlahan bunga Edelweiss itu , ada secaik kertas di sela ikatannya :
tersenyumlah saat kau mengingatnya,
karena ia pun sedang mengingatmu
 lihatlah bintang yang tersenyum itu
 bintang itu ingin katakan padamu
kekasihmu ingin melihatmu selalu untuknya
Aku pun tersenyum. Pada tulisan itu, pada seikat edelweiss di genggamanku.
Lirih kusenandungkan sebuah lagu.......

indah terasa indah bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa keinginan saling memiliki
dan bila itu semua dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita

tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua…
sudah, terlambat sudah ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
 (Padi-Kasih Tak sampai)  

(Cirebon, 2012)           






Selasa, 28 Februari 2012


PERPUSTAKAAN ?
Oleh : Retno Wulandari XI IPA 4 (Bulletin Light)

                Perpustakaan. Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata itu ? Mungkin sebagian dari anda berpikir bahwa perpustakaan adalah tempat paling mengasyikkan untuk meluangkan waktu senggang anda. Tapi mungkin sebagian dari anda juga berpikir bahwa perpustakaan adalah adalah tempat paling membosankan untuk dikunjungi.
Perpustakaan beralih fungsi ?

                Sebenarnya, banyak sekali manfaat yang kita dapatkan jika kita meluangkan waktu kita di perpustakaan. Ya, memang hanya ada buku dan keheningan yang tergambar bila kita membayangkan seperti apa perpustakaan itu. Tapi bila kita menengok lebih dalam banyak sekali ilmu dan pengetahuan yang bisa kita dapat dari membaca buku-buku di perpustakaan.

Harapan kerap berbeda dengan realita. Bagaimana dengan perpustakaan di sekolahku ? Awalnya aku berharap mempunyai perpustakaan yang bersih, rapi , luas dan nyaman. Tapi justru sebaliknya. Debu, pengap, sempit dan kumuh. Ya itulah kata-kata yang diucapkan oleh teman-temanku saat aku menanyakan pendapat mereka tentang perpustakaan sekolah kita. Belum lagi sekarang perpustakaan sudah beralih fungsi menjadi tempat nongkrong siswa-siswa yang sedang bolos pelajaran, tempat curhat atau ngerumpi. Tempat pacaran bahkan ada yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat penghilang rasa kantuk alias tempat tidur. Miris memang untuk perpustakaan sekolah kondang seperti SMAN 1 Lemahabang ini. . Tapi seperti pepatah mengatakan, bahwa janganlah melihat buku dari sampulnya. Artinya, apa kita lihat belum tentu menunjukkan bahwa seperti itu pula lah isi di dalamnya. 

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan perpustakaan sangat penting bagi kegiatan belajar mengajar (KBM). Banyak sekali buku panduan belajar yang menjadi acuan belajar selain list/daftar buku yang kita punya. Tapi faktanya, perpustakaan jarang dikunjungi oleh siswa. Mereka tampa sekali enggan menginjakkan kakinya memasuki ruangan yang penuh dengan bku namun sangat sempit dan pengap ini.  Mengapa ? Selain kondisinya yang secara fisik kurang mendukung, mungkin juga karena mereka memang tidak gemar membaca, padahal mereka tahu bahwa kegiatan membaca itu penting untuk menambah pengetahuan. So, jangan pernah malas berkunjung ke perpustakaan ya. Apa pun kondisinya. (12 Juni 2011)